SWARATAMA – Di tengah gemerlap Pollux Mall Batam Center, Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam, Hajar Aswad, dan Direktur Utama PT Pollux Barelang Megasuperblok, Handojo K. Setyadi, menandatangani perjanjian kerja sama untuk mendirikan Immigration Lounge. Acara ini dihadiri Kepala Kanwil Ditjen Imigrasi Kepulauan Riau, Ujo Sujoto, dan jajaran direksi PT Pollux. Namun, di balik sorotan seremonial, muncul pertanyaan: apakah langkah ini benar-benar inovasi untuk publik atau sekadar komersialisasi pelayanan keimigrasian?
Perjanjian ini diklaim sebagai wujud kemitraan strategis untuk menghadirkan pelayanan keimigrasian yang lebih mudah diakses, nyaman, dan efisien. Immigration Lounge, yang akan beroperasi mulai Agustus 2025 di lantai dasar Pollux Mall (unit GF-25, GF-25A, dan GF-25B), menawarkan layanan seperti e-paspor, percepatan, dan perpanjangan izin tinggal bagi WNI dan WNA. Hajar Aswad menyebutnya sebagai langkah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, investasi, dan mobilitas tenaga kerja asing yang legal. Namun, menempatkan pelayanan publik di pusat perbelanjaan memunculkan kekhawatiran tentang prioritas dan aksesibilitas.
Pergeseran layanan keimigrasian dari kantor resmi ke mal menimbulkan pertanyaan kritis. Apakah ini benar-benar “near-you service” yang inklusif, ataukah hanya memanjakan segmen masyarakat tertentu yang sering mengunjungi mal? Program akselerasi yang digaungkan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, tampaknya lebih berorientasi pada citra modernisasi ketimbang memastikan pemerataan akses. Masyarakat di wilayah pinggiran Batam, yang mungkin kesulitan menjangkau lokasi mal, berisiko terabaikan.
Selain itu, kolaborasi dengan swasta seperti PT Pollux memunculkan risiko komersialisasi. Apakah kehadiran Immigration Lounge di mal akan mendorong biaya layanan tak resmi atau preferensi bagi mereka yang mampu membayar lebih? Klaim peningkatan kuota pelayanan paspor terdengar menjanjikan, tetapi tanpa transparansi soal pengelolaan dan biaya, publik berhak mempertanyakan apakah ini murni untuk kepentingan masyarakat atau ada agenda lain di baliknya.
Langkah ini mungkin terlihat sebagai transformasi pelayanan, tetapi tanpa strategi yang memastikan akses merata dan bebas dari kepentingan komersial, Immigration Lounge berpotensi menjadi simbol ketimpangan pelayanan publik. Ditjen Imigrasi perlu membuktikan bahwa inisiatif ini bukan sekadar polesan modern, melainkan solusi nyata bagi semua lapisan masyarakat.***