Home / Nasional / Sistem Ribet, Klaim BPJS Bikin Rumah Sakit Kelimpungan

Sistem Ribet, Klaim BPJS Bikin Rumah Sakit Kelimpungan

SWARATAMA – Sistem klaim BPJS Kesehatan kembali menjadi sorotan. Banyak rumah sakit, baik swasta maupun pemerintah, mengeluhkan proses klaim yang berbelit, pembayaran tertunda, hingga nominal yang sering tidak sebanding dengan biaya perawatan. Akar masalah ini, menurut berbagai pihak, tidak hanya membebani operasional rumah sakit, tetapi juga berdampak pada kualitas pelayanan kepada pasien, khususnya peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Iing Ichsan Hanafi, mengungkapkan bahwa keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan telah menyebabkan rumah sakit, terutama yang berskala kecil, terpaksa berutang ke bank untuk menutup biaya operasional. “Klaim tertunda bukan cuma soal angka, tapi soal kelangsungan hidup rumah sakit. Kalau dibiarkan, pasien BPJS yang dirugikan,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI pada Mei 2025. Data BPJS Kesehatan mencatat, klaim tertunda pada 2024 mencapai Rp5,92 triliun untuk 3,69 juta kasus, melonjak dari Rp2,16 triliun pada 2023.

Proses klaim yang rumit menjadi keluhan utama. Rumah sakit harus memenuhi persyaratan dokumentasi yang ketat, sering kali menyulitkan rumah sakit dengan sumber daya terbatas. “Aturan yang berubah-ubah tanpa sosialisasi jelas membuat rumah sakit dan pasien bingung. Belum lagi, ada kasus klaim ditolak karena dianggap tidak sesuai standar, padahal pasien sudah dilayani,” kata dr. Ari, dokter di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Beberapa rumah sakit bahkan melaporkan bahwa nominal klaim dari sistem INA-CBGs (Indonesia Case Base Groups) sering kali lebih rendah dari biaya aktual perawatan, menyebabkan defisit keuangan.

Dampaknya tak hanya dirasakan rumah sakit, tetapi juga pasien. BPJS Watch mencatat setidaknya 109 kasus diskriminasi terhadap pasien BPJS Kesehatan pada 2022, termasuk pasien yang dipulangkan sebelum sembuh total karena plafon klaim habis atau antrean panjang akibat kuota layanan. Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, menegaskan bahwa keterlambatan dan sengketa klaim mendorong rumah sakit untuk “berhati-hati” menerima pasien BPJS, bahkan menolak pasien yang tidak dianggap darurat. “Ini melanggar UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang menegaskan keselamatan pasien sebagai prioritas,” tegasnya.

Ombudsman RI juga mencatat peningkatan pengaduan masyarakat, dari 300-an pada 2021 menjadi 400 pada 2022, terkait penolakan pelayanan, antrean lama, hingga tindakan medis yang tertunda. “Banyak rumah sakit menerapkan kuota layanan karena takut rugi, tapi ini diskriminatif dan melanggar hak pasien,” kata Bellinda dari Ombudsman RI.

Di sisi lain, BPJS Kesehatan berdalih bahwa pihaknya telah menerapkan audit ketat sesuai rekomendasi KPK untuk mencegah kecurangan. “Kami pastikan klaim diproses sesuai prosedur, tapi rumah sakit juga harus mematuhi standar,” ujar Agustian Fardianto, Asisten Deputi Komunikasi Publik BPJS Kesehatan. Namun, kebijakan seperti penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) per Juni 2025 dikhawatirkan memperburuk situasi, dengan potensi penurunan kualitas layanan untuk pasien kelas 1 karena keterbatasan ruang.

Defisit keuangan BPJS Kesehatan yang diprediksi mencapai Rp20 triliun pada 2026 juga menjadi alarm. Jika tidak ditangani, rumah sakit berisiko memprioritaskan pasien umum ketimbang pasien BPJS, memperparah diskriminasi. Solusi seperti digitalisasi proses klaim melalui sistem SIMRS, seperti yang ditawarkan AVIAT, disebut dapat mempermudah administrasi, namun belum menyentuh akar masalah: ketidakseimbangan antara iuran dan biaya layanan.

Tanpa perbaikan sistemik, seperti pengawasan ketat, standarisasi layanan yang jelas, dan penyelesaian klaim tertunda, cita-cita cakupan kesehatan semesta masih jauh dari harapan. Pemerintah, BPJS Kesehatan, dan rumah sakit dituntut bersinergi, bukan saling lempar tanggung jawab, agar pasien tidak terus menjadi korban dari sistem yang bermasalah.